Jumat, 18 Januari 2013

11 tahun kemudian ..

Bismillah.



 
Apr 26, '05 10:48 PM
untuk semuanya
Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi dengan diri, keluarga maupun sahabat-sahabatnya dalam beberapa jam, hari atau beberapa bulan kemudian. Apalagi bila kita diminta untuk membicarakan perihal “nasib” diri sendiri atau nasib keluarga dan sahabat kita sepuluh tahun kemudian! Begitulah, saya percaya bahwa saya tak boleh mempercayai manusia manapun yang mencoba meramal masa depan siapa pun. Ia misteri yang perlu kita jelang dengan segenap upaya baik dan kekuatan doa.
Hari itu, Agustus 1994 di Balairung UI-Depok. Saya dan beberapa panitia sedang mempersiapkan acara OPT (Orientasi Perguruan Tinggi) bagi mahasiswa baru se-UI. Waktu itu saya yang bertugas sebagai sie acara, sempat berfoto bersama beberapa sahabat baik saya di kampus.
“Kita foto bareng yuk!” seru saya sambil meminta seorang teman yang membawa tustel untuk mendekat dan memotret kami.
Sahabat saya yang semuanya lelaki ini nyengir. Foto? Untuk apa? Bukankah selama ini kita sudah selalu bersama?
“Mungkin ini akan menjadi foto terakhir kita sebelum pergi dari UI. Saya ingin menatapnya sepuluh tahun lagi, saat kita entah jadi siapa dan berada di mana.”
Semua tertawa. “Romantis sekali,”celutuk entah siapa.
Zul, Kamal, Indra dan Isa tertawa.“Ayo deh,” seru mereka serempak. Zul yang baru saja terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa UI tahun itu tampak lebih tersipu-sipu dibandingkan yang lain. Waktu itu Kamal adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra, sedang Indra, saya dan Isa aktif di senat mahasiswa fakultas dan senat universitas. Isa tercatat sebagai satu-satunya anggota tim nasyid Snada, yang bukan berasal dari FISIP UI.
“Ya, mungkin sekarang foto ini tak begitu penting,” ulang Zul.
“Tapi sepuluh tahun lagi bisa menjadi kenangan indah,” kelakar Kamal.
Indra tertawa. “Ayo dong, kapan fotonya nih?”
Isa mengambil posisi di depan piano sambil menekan beberapa tuts-nya.
Saya tak ingat siapa yang mengambil foto tersebut. Saya hanya tahu bahwa saya menyimpan foto ini di komputer saya selama lebih dari sepuluh tahun, tepatnya sebelas tahun!
Dan kini, tiba-tiba saja, sebelas tahun telah berlalu. Siapakah kita sekarang, sahabat? Dulu kita semua aktivis mahasiswa di UI dan sekarang kemana idealisme itu membawa langkah kita?
Mustafa Kamal, pernah menjadi salah satu anggota KPU termuda saat KPU baru berdiri. Kini ia anggota DPR-RI dari PKS.
Zulkieflimansyah, alumnus FEUI ini sempat kuliah di Inggris, mendapat gelar doktornya pada usia belum 30 tahun. Kini seperti Kamal, ia pun anggota DPR RI dari PKS.
Indra J. Piliang, dulu memegang jabatan struktural di PAN, kini aktif sebagai peneliti di CSIS dan pengamat politik.
Isa Alamsyah, kini wartawan televisi NHK Jepang dan wiraswastawan, ia sudah lama mengundurkan diri dari Snada. Hey, tahun 1995, setahun setelah pemotretan ini, ia menikah dengan Asma Nadia, adik saya!
Dan saya, Helvy, sebelas tahun kemudian, saya seperti apa yang sekarang teman-teman lihat. Tiba-tiba saya menjadi istri Mas Tomi, menjadi bunda Faiz. Menjadi penulis fiksi, dosen sastra, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Ah, darimana dulu kami, saya memulainya? Berapa lagi masa yang tersisa untuk melakukan hal-hal yang lebih berarti?
Waktu, hidup, kita, semua menggelinding. Kita memang tak akan pernah tahu apa dan siapa kita sepuluh tahun mendatang. Tapi percayalah, kita telah menentukan arahnya hari ini, atau mungkin belasan tahun lalu, saat kita melakukan sesuatu. Bahkan jauh sebelumnya, aroma “sesuatu” itu samar sekali pernah kita cerna saat ruh kita ditiup, dan Allah berkata: Kun!
Kita pun berjalan dan menguak semua dengan langkah, upaya dan barangkali doa-doa. Lalu bagaimana dengan saya, Zul, Kamal, Indra, Isa dan Anda, sepuluh tahun mendatang dari sekarang?
Mulailah melangkah lagi. Mungkin dengan menyebut namaNya di jalan keyakinan, mungkin masih dalam abai yang sama. Pilihan yang kita tentukan sendiri dengan berlari, atau bahkan dengan sangat tertatih. Tapi selama masih ada nafas, kita semua berpeluang sampai pada derajat itu. Menjadi “seseorang”. Memahatkan “ada” di bumi dan tentu saja di langit. Ya, meski tak pasti, berapa lagi masa yang tersisa bagi kita. Hidup di dunia memang untuk itu: memahatkan "ada" kita, sekecil apapun. Dan belum terlambat untuk memulainya lagi hari ini....

(Helvy Tiana Rosa)
 
dari sini

0 komentar :

Posting Komentar